-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

gambar pantai

Iklan

Indeks Berita

Konflik Palestina dan Israel: Genosida dan Pelanggaran Hukum Internasional

Friday 20 October 2023 | 10/20/2023 07:37:00 am WIB | 0 Views Last Updated 2023-10-20T13:37:33Z


 

InfoBanten.com - Eskalasi konflik yang menyita perhatian dunia antara zionis Israel dan Palestina belakangan ini bukan merupakan akar konflik, melainkan akibat dari akar konflik yang sudah dan akan terus berlangsung melalui berbagai macam pemicu, dan hanya akan berhenti jika akar konflik itu terselesaikan. “Kegagahan dan keperkasaan” zionis Israel atas Palestina tidak dengan sendirinya menyelesaikan konflik ini.


Tindakan penjajahan atas Palestina merupakan akar masalah dan alasan utama atas penyerangan yang dilakukan Hamas beberapa waktu lalu, tentu akar masalah tersebut harus segera diselesaikan. Mengingat serangan balasan yang dilakukan oleh zionis Israel seakan sudah tidak lagi menghiraukan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum internasional yang berlaku.


Mulai dari ribuan jumlah korban (dimana setengahnya merupakan anak-anak dan wanita) yang terus meningkat, penyerangan dengan 6000 bom seberat 4000 ton serta penggunaan bom fospor putih, pengepungan zionis Israel terhadap wilayah Gaza yang telah menyebabkan berkurangnya persediaan makanan, air, listrik, dan obat-obatan bagi warga Palestina, hingga upaya menghalangi pasokan bantuan kemanusiaan dan bahan bakar yang akan masuk ke wilayah tersebut. Tindakan tersebut memicu reaksi dunia internasional, bahkan tidak sidikit yang mengecam tindakan zionis Israel tersebut dengan mengatakan telah melakukan kejahatan yang dilarang dalam hukum Internasional yaitu genosida, sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg, Konvensi Genosida 1948, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional 1998.


Ditambah dengan serangan-serangan terhadap fasilitas kesehatan yang membuat WHO memberikan warning/sinyal darurat terkait hal tersebut, ini adalah gambaran akan krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Dalam sebuah kesempatan Ghazi Hamad yang merupakan pejabat senior Hamas menegaskan, “Tidak ada wilayah yang aman bagi masyarakat di Gaza untuk mencari perlindungan”, kemudian beliau menambahkan, “Setiap area dan setiap bangunan kemungkinan diserang. Setiap orang menjadi sasaran dan rentan terhadap pembunuhan oleh zionis Israel, termasuk perempuan, anak-anak, orang lanjut usia, dan bahkan orang cacat”.


Ini semua tidak dapat dibiarkan, krisis kemanusiaan, pelanggaran HAM, kejahatan perang, genosida, hingga banyaknya pelanggaran hukum internasional yang dilangkahi oleh zionis Israel harus dihentikan. Bukan tidak mungkin, jika ini terus dibiarkan maka akan memicu konflik yang lebih besar, konflik yang melibatkan dunia internasional, yang sudah barang tentu akan berdampat lebih luas dari yang sedang terjadi saat ini.


Jika flashback lebih jauh guna melihat masalah dari akarnya, agar dapat menyikapi masalah dengan objektif dan proporsional. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik antara zionis Israel dan Palestina syarat akan dimensi hukum internasional dan nilai-nilai geopolitik. Dalam persepktif hukum internasional, terkait hal ini terdapat beberapa norma yang diimplementasikan dalam berbagai Resolusi PBB dan perjanjian-perjanjian internasional. Pertama, norma self determination (memberikan hak pada wilayah yang masih berada dalam penguasaan kolonial untuk dimerdekakan) yang diperkuat oleh pendapat Mahkamah Internasional (ICJ) dalam Advisory Opinion on Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965.  (https://www.icj-cij.org/public/files/case-related/169/169-20190225-ADV-01-00-EN.pdf)Menurut ICJ, norma self determination juga mengharuskan wilayah koloni dimerdekakan secara utuh dan tidak boleh di pecah-pecah. Kedua, norma uti possidetis juris (yaitu batas-batas wilayah yang dimerdekakan itu harus identik dengan batas wilayah kolonial). Ketiga, norma non-use of force (diharamkannya penggunaan kekerasan untuk memperoleh wilayah) yang keberlakuannya ditegaskan dalam Declaration on Friendly Relations sejak piagam PBB 1945.


Norma-norma tersebut membuktikan bahwa penguasaan zionis Israel atas wilayah Palestina, sejak awal sampai saat ini merupakan pelanggaran hukum internasional dan pengingkaran terhadap the right of self determination dari rakyat Palestina atas wilayah yang diokupasi (Occupied Palestinian Territory). Lebih tegas dapat sama-sama kita lihat dalam Putusan ICJ dalam Advisory Opinion on Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian Territory (2004) (“Advisory Opinion on Wall”) yang menyatakan bahwa Israel telah melanggar hak atas self determination Palestina dan telah melakukan de facto annexation (aneksasi) melalui pembangunan tembok di Occupied Palestinian Territory. Kemudian dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/67/19 (2012) yang mengafirmasi hak self determination dalam kaitannya dengan wilayah Palestina yang diokupasi sejak 1967. Serta dalam Pre Trial Chamber I Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam Situation In The State Of Palestine (2021) merujuk pada wilayah Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai wilayah Palestina yang diokupasi oleh Israel sejak 1967.


Maka dari itu pendudukan de facto zionis Israel atas Palestina dianggap tidak sah menurut hukum internasioanl, dan menjadi sebab utama terjadinya konflik yang berkepanjangan ini. Sebagai bentuk penegakan hukum internasional maka dibutuhkan sikap persistent objection terhadap tindakan zionis Israel, sehingga penolakan tersebut akan menghalangi klaim sepihat yang dilakukan zionis Israel. Maka sangat keliru jika sebagian publik baru-baru ini mendesak Indonesia untuk tidak mendukung satu pihak alias bersikap netral, karena dalam hal ini hanya terdapat dua pilihan, yang pertama adalah menolak sikap zionis Israel, sebagai bentuk penghormatan hukum internasional (selain atas dasar hubungan emosional dengan Palestina), atau sebagai turut serta / complicity dalam pelanggaran tersebut.


Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, dan merupakan bagian dari dunia internasioanl, sudah sepatutnya Indonesia menolak segala jenis dan tindakan penjajahan apapun dalih dan alasannya, sebagai implementasi dari nilai-nilai Pancasila dan sesuai dengan apa yang tertuang dalam alenia pertama Preambule UUD 1945 yang menyatakan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.


Habib Ali bin Husin Alatas berkata, “dan termasuk hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim, adalah ikut menjaga (Palestina), atau paling tidak dia merasa tersakiti (tidak terima), atas pemerintahan Israel yang menduduki Palestina dari tahun 1948 hingga saat ini, dengan bantuan Amerika dan Inggris dalam melakukan hal tersebut, dan juga dengan ‘bantuan’ para pemimpin Negara Arab yang seakan melemahkan diri untuk kepentingan negaranya saja, (Dan tidaklah Allah lalai atas apa yang diperbuat oleh orang-orang zholim)” Taujul A’ros – 2/396. Semoga Indonesia dapat berperan aktif dalam upaya perdamaian, agar konflik-konflik seperti ini, yang dapat berpotensi menjadi konflik lebih besar di kemudian hari tidak terjadi lagi. (Saykhan Alatas. SH.,MH)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update